Senin, 15 Oktober 2012

Thalhah Bin Ubaidilah [2]

Leave a Comment
Dia adalah putra Utsman Al Qurasyi At-Taimi Al Makki, ayah Muhammad.
Dia termasuk salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga.
Menurut aku, dia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam, dianiaya karena Allah, lalu hijrah. Para ulama sepakat bahwa dia adalah sahabat yang tidak ikut perang Badar karena ada urusan dagang di negeri Syam, dan dia merasa menyesal lantaran ketidakikutsertaannya tersebut. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyamakannya dengan anak panah dan pahalanya.
Dalam kitab Al Jami’ karya Abu Isa diriwayatkan dengan sanad hasan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam perang Uhud, “Jadilah seperti Thalhah!”
Ibn Abu Khalid meriwayatkan dari Qais, ia berkata, “Aku melihat tangan Thalhah, yang digunakan untuk menjaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu perang Uhud, lumpuh.”

Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Pada waktu perang Uhud, banyak orang yang mundur, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dilindungi oleh sepuluh pemuda, salah satunya adalah Thalhah. Ketika mereka bertemu dengan pasukan musyrik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Siapa yang akan melawan mereka?’ Thalhah berkata, ‘Aku’. Beliau lalu bersabda, ‘Siapa lagi?’ Seorang sahabat berkata, ‘Aku’. Beliau kemudian berkata, ‘Kamu’. Setelah itu dia menyerang hingga akhirnya terbunuh. Kemudian beliau menoleh, ternyata pasukan musyrik masih ada, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang akan melawan mereka?’ Thalhah menjawab, ‘Aku’. Beliau berkata, ‘Kamu lagi!’ Tak lama kemudian salah seorang sahabat dari kaum Anshar berkata, ‘Aku’. Beliau kemudian berkata, ‘Kamu’. Dia pun menyerang, hingga akhirnya terbunuh. Keadaan terus berjalan seperti itu sampai akhirnya yang tersisa hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Thalhah. Nabi pun berkata, ‘Siapa yang akan melawan mereka?’ Thalhah menjawab, ‘Aku’. Thalhah pun menyerang, dan dia berhasil membunuh sebelas orang dari pasukan musyrik, dan jari Thalhah terpotong, maka ia menjerit, ‘Aduh’. Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Andai kamu menyebut nama Allah maka malaikat akan menolongmu dan manusia menyaksikan’. Akhirnya Allah  subhanahu wa ta’ala T mengusir pasukan musyrik.
Dalam kitab Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua Hira bersama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, dan Zubair, tiba-tiba sebuah batu besar bergerak, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tenanglah, sesungguhnya orang yang berada di atasmu tidak lain adalah Nabi, Ash-Shiddiq, dan syahid’.”
Diriwayatkan dari Thalhah bin Yahya, ia menceritakan kepadaku: Nenekku, Su’da binti Auf Al Mariyah, berkata, “Suatu hari aku bertemu Thalhah saat ia sedang merintih kesakitan. Aku kemudian berkata, ‘Apa yang terjadi padamu? Apakah ada masalah dengan keluargamu?’ Thalhah menjawab, ‘Demi Allah, tidak ada, kamu adalah sebaik-baik saudari muslim, tetapi uangku telah meresahkanku’. Aku lalu berkata, ‘Apa yang kamu resahkan? Kamu bertanggung jawab atas kaummu’. Thalhah berkata, ‘Wahai budak, tolong panggilkan kaumku!’ setelah itu dia membaginya kepada mereka. Lalu aku bertanya kepada penjaga, ‘Berapa jumlah yang diberikannya?’ Dia menjawab, ‘Empat ratus ribu’.”
Alqamah bin Waqqas Al-Laitsi berkata, “Pada waktu Thalhah, Zubair, dan Aisyah keluar untuk menuntut balas kematian Utsman, banyak orang yang menghadang mereka di Dzatu Irqin, karena mereka masih memandang remeh Urwah bin Az-Zubair dan Abu Bakar bin Abdurrahman. Mereka mengusir keduanya. Ketika itu aku melihat Thalhah, sedangkan majelis yang paling disukainya adalah majelis yang kosong. Dia memanjangkan jenggotnya hingga ke dada. Aku lalu berkata, ‘Hai Abu Muhammad, aku melihat bahwa tempat yang paling kamu sukai adalah tempat yang sepi, maka jika kamu tidak suka tempat ini (keramaian ini), tinggalkanlah!’ Thalhah berkata, ‘Wahai Alqamah, jangan menghina diriku, kita dulu satu kesatuan ketika menyerang musuh (orang-orang kafir), tetapi sekarang kita malah menjadi dua gunung besi yang saling memusuhi. Tetapi ada satu perkara berkaitan dengan masalah Utsman yang menurutku kafaratnya hanya bisa ditebus dengan menumpahkan darahku dan membalas kematiannya’.”
Menurut aku, persepsi Thalhah tentang masalah pembunuhan Utsman keliru dan salah paham belaka, yang dia ambil berdasarkan ijtihad. Tetapi persepsinya itu berubah pada saat dia menyaksikan pertempuran Utsman, lalu menyesal tidak menolongnya. Thalhah juga orang pertama yang membai’at Ali, dipaksa oleh para pembunuh Utsman, dan dihadirkan hingga akhirnya dia mau membai’at.
Diriwayatkan dari Qais, ia berkata, “Aku melihat Marwan bin Hakam sedang melepaskan anak panah ke arah Thalhah hingga mengenai lututnya, tetapi dia terus bertempur hingga akhirnya meninggal.”
Menurutku, dosa orang yang membunuh Thalhah sama seperti dosa pembunuh Ali.
Diriwayatkan dari Jabir, bahwa dia mendengar Umar berkata kepada Thalhah, “Mengapa aku melihatmu selalu murung dan sedih semenjak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah kamu iri kepada kepemimpinan putra pamanmu, yakni Abu Bakar?” Thalhah menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, aku sebenarnya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang jika dikatakan oleh orang yang akan meninggal maka rohnya akan berbau wangi saat keluar dari jasadnya, dan roh itu akan bercahaya pada Hari Kiamat’. Sementara itu aku belum menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya dan beliau juga tidak memberitahuku tentang hal tersebut. Itulah yang membuatku bersedih.” Umar lalu berkata, “Sesungguhnya aku mengetahuinya.” Thalhah bertanya, “Alhamdulillah, apa itu?” Umar berkata, “Kalimat yang pernah diucapkan beliau kepada pamannya.” Thalhah berkata, “Kamu benar.”[1]
Thalhah wafat (terbunuh) pada tahun 36 H, saat berusia sekitar 62 tahun. Jasadnya disemayamkan di daerah Bashrah.
Thalhah mempunyai anak-anak yang baik, dan yang paling baik adalah Muhammad Sajjad, pemuda yang baik, ahli ibadah, dan takwa kepada Allah. Dilahirkan saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan wafat pada perang Jamal. Ketika ia meninggal Ali sangat bersedih dan berkata, “Kebaikannya sama dengan kebaikan ayahnya.”
————————————————————————————————–
Foot Note:
[1] Kalimat tersebut adalah kalimat Laailaaha Illallah.
Sumber: Ringkasan Siyar A’lam an Nubala’, Imam Adz-Dzahabi, Penyusun: Dr.Muhammad Hasan bin Aqil Musa asy-Syarif, Pustaka Azzam, Hal.146-147.
 http://kisahislam.net/2011/12/25/thalhah-bin-ubaidullah/

0 komentar:

Posting Komentar