Kamis, 11 Oktober 2012

Membangun pencitraan dakwah

Leave a Comment
Dalam dinamika dakwah, kadang ada aktivitas tertentu yang memerlukan publisitas dalam rangka memberikan informasi kepada masyarakat tentang kinerja gerakan dakwah yang telah banyak melakukan upaya perbaikan. Tidak bisa dipungkiri, media sangat mengendalikan persepsi masyarakat saat ini. Suatu kejahatan bisa dicitrakan sebagai sosok pahlawan karena bangunan media. Sebaliknya, para pelaku kebaikan bisa dicitrakan sebagai sosok pecundang karena opini media.
Selain memberikan informasi, publisitas juga dimaksudkan sebagai upaya memberikan pendidikan, inspirasi, dan motivasi bagi semua kalangan untuk melakukan kebaikan dan berlomba-lomba memperbanyak kontribusi positif di tengah kehidupan masyarakat. Sangat banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari para aktivis dakwah, namun seringkali tenggelam tidak banyak diketahui publik, karena tidak adanya unsur publisitas. Sementara ada tokoh politik tertentu yang sekali-kalinya naik kereta api atau bus kota, diberitakan headline berhari-hari di berbagai media.
Saya sempat tertegun mendengar informasi tentang mahalnya pencitraan. Seorang tokoh politik, karena ingin mendapatkan pencitraan tentang kesederhanaan, maka ia rela mengeluarkan dana ratusan milyar rupiah guna tampil di televisi dan media massa lainnya. Betapa ironis, citra sederhana yang ingin didapatkan, dibangun dengan biaya ratusan milyar rupiah. Sudah pasti, konstituen tidak pernah mengetahui hal itu. Mereka hanya memuji-muji sang tokoh yang sederhana dan bersahaja, tanpa mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.







Banyak kalangan tokoh aktivis dakwah yang hidup dan kegiatannya jauh dari publisitas. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas berbuat dan bekerja karena Allah, bukan berharap pujian manusia. Mereka menjaga diri agar tidak rusak amal yang telah mereka lakukan, karena pengaruh perasaan riya yang berkembang dalam jiwa. Untuk itu mereka lebih suka menjauhkan diri dari publisitas, dan hidup dalam kesunyian walau kontribusi mereka untuk perbaikan masyarakat sangat besar.
Namun di sisi lain, karena tidak terpublikasikan oleh media, maka kesederhanaan, kebersahajaan, dan kesungguhan mereka dalam memperbaiki masyarakat tidak diketahui banyak kalangan. Ketika muncul beberapa tokoh politik yang menjadi ikon kesederhanaan, banyak masyarakat bertanya, mengapa itu tidak muncul dari kalangan aktivis dakwah? Salah satu jawabannya adalah karena faktor publisitas. Para aktivis dakwah sepi dari publisitas sehingga kiprah mereka tidak diketahui masyarakat luas.
Muncul pertanyaan, apakah publisitas bertentangan dengan makna keikhlasan? Apakah amal yang ikhlas harus selalu disembunyikan? Al Qur’an memberikan gambaran dua kondisi shadaqah (sedekah), yang keduanya bernilai baik dan lebih baik. Tidak ada yang dicela atau disalahkan. Perhatikan ungkapan ayat berikut:
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Baqarah : 271).
Dari ayat di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran fiqih dakwah sebagai berikut:
  1. 1.   Dibolehkannya menampakkan amal
Al Qur’an menyatakan, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali”. Suatu sedekah atau pemberian kepada orang-orang yang memerlukan dengan menampakkan atau mempublikasikan adalah suatu tindakan yang dibolehkan, tidak dilarang. Bahkan dikatakan sebagai “baik sekali”, bukan saja baik. Dalam hal ini, sedekah yang ditampakkan bukanlah sesuatu yang tercela atau dilarang.
Al Qur’an juga menyebut umat Nabi Saw sebagai sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh manusia:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran: 110).
Kebaikan ini akan memiliki makna yang memberikan banyak dorongan motivasi dan inspirasi bagi masyarakat luas, jika ditampakkan, bukan disembunyikan.
  1. 2.   Menyembunyikan amal karena menghindari riya’
Ada kalanya sedekah harus disembunyikan, jika dengan menampakkan akan menimbulkan riya dan menyakiti perasaan orang-orang yang mendapatkan bagian sedekah tersebut. Al Qur’an menyatakan, “Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.
Riya’ adalah berkembangnya motivasi semata-mata ingin mendapat pujian dari manusia atas apa yang dilakukannya. Namun menyembunyikan amal tidak identik dengan ikhlas, karena ikhlas bukanlah soal teknis menampakkan atau menyembunyikan. Ikhlas adalah dorongan yang kuat dalam jiwa, yang menjadi sumber motivasi dalam melakukan sebuah amal atau dalam meninggalkan amal tersebut.
Sebagian ulama salaf menyatakan, “Beramal karena manusia itu syirik, sedangkan meninggalkan amal karena manusia itu riya”. Ini menandakan bahwa ikhlas itu bermakna dorongan yang menyebabkan melakukan atau meninggalkan suatu amal semata-mata karena Allah, apakah amal itu ditampakkan atau disembunyikan.
  1. 3.   Keharusan bekerja dengan ikhlas
Semua aktivitas yang kita lakukan hendaknya didasari dengan niat yang ikhlas karena mengharap ridha dan pahala dari Allah, bukan dari manusia. Cukuplah kita yakin, bahwa semua yang kita lakukan berada dalam pengawasan dan pengetahuan Allah, sebagimana firmanNya, “dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Syaikh Hasan Al Bana menegaskan, “Yang  dimaksud dengan ikhlas ialah seorang muslim menunjukkan segala perkataan, amal  dan jihadnya semata-mata mencari ridha Allah dan  ganjaran baik-Nya, tidak memandang keuntungan duniawi, kedudukan, pangkat, gelar, dan semacamnya. Karena itu ia akan menjadi manusia pembela cita-cita  dan  aqidah, bukan  kepentingan  (interest)  pribadi.”
  1. 4.   Menampakkan amal tidak menghilangkan keikhlasan
Kebolehan menampakkan sedekah ini menandakan, amal yang ditampakkan tidak berarti menghilangkan nilai keikhlasan atau merusakkannya. Yang membuat rusaknya amal adalah sikap riya dan mengharap keridhaan manusia dengan jalan memamerkan berbagai aktivitas kebaikan. Berbangga-bangga dengan pujian manusia dan melalaikan hakikat niat yang tulus ikhlas mengharap ridha Allah.
Sebagaimana telah dinyatakan di depan, bahwa menyembunyikan amal itu tidak identik dengan ikhlas, maka menampakkan amal juga tidak identik dengan riya atau tidak ikhlas. Dengan demikian, jika publisitas adalah upaya untuk memberikan informasi yang positif, memberikan inspirasi kebaikan, memberikan motivasi beramal salih, dan memberikan pencitraan positif bagi dakwah, maka hal itu adalah sebuah keharusan.

Referensi: http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2718

0 komentar:

Posting Komentar