Dalam dinamika dakwah, kadang ada aktivitas tertentu yang memerlukan
publisitas dalam rangka memberikan informasi kepada masyarakat tentang
kinerja gerakan dakwah yang telah banyak melakukan upaya perbaikan.
Tidak bisa dipungkiri, media sangat mengendalikan persepsi masyarakat
saat ini. Suatu kejahatan bisa dicitrakan sebagai sosok pahlawan karena
bangunan media. Sebaliknya, para pelaku kebaikan bisa dicitrakan sebagai
sosok pecundang karena opini media.
Selain memberikan informasi, publisitas juga dimaksudkan sebagai upaya memberikan pendidikan, inspirasi, dan motivasi bagi semua kalangan untuk melakukan kebaikan dan berlomba-lomba memperbanyak kontribusi positif di tengah kehidupan masyarakat. Sangat banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari para aktivis dakwah, namun seringkali tenggelam tidak banyak diketahui publik, karena tidak adanya unsur publisitas. Sementara ada tokoh politik tertentu yang sekali-kalinya naik kereta api atau bus kota, diberitakan headline berhari-hari di berbagai media.
Saya sempat tertegun mendengar informasi tentang mahalnya pencitraan. Seorang tokoh politik, karena ingin mendapatkan pencitraan tentang kesederhanaan, maka ia rela mengeluarkan dana ratusan milyar rupiah guna tampil di televisi dan media massa lainnya. Betapa ironis, citra sederhana yang ingin didapatkan, dibangun dengan biaya ratusan milyar rupiah. Sudah pasti, konstituen tidak pernah mengetahui hal itu. Mereka hanya memuji-muji sang tokoh yang sederhana dan bersahaja, tanpa mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.
Banyak kalangan tokoh aktivis dakwah yang hidup dan kegiatannya jauh dari publisitas. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas berbuat dan bekerja karena Allah, bukan berharap pujian manusia. Mereka menjaga diri agar tidak rusak amal yang telah mereka lakukan, karena pengaruh perasaan riya yang berkembang dalam jiwa. Untuk itu mereka lebih suka menjauhkan diri dari publisitas, dan hidup dalam kesunyian walau kontribusi mereka untuk perbaikan masyarakat sangat besar.
Namun di sisi lain, karena tidak terpublikasikan oleh media, maka kesederhanaan, kebersahajaan, dan kesungguhan mereka dalam memperbaiki masyarakat tidak diketahui banyak kalangan. Ketika muncul beberapa tokoh politik yang menjadi ikon kesederhanaan, banyak masyarakat bertanya, mengapa itu tidak muncul dari kalangan aktivis dakwah? Salah satu jawabannya adalah karena faktor publisitas. Para aktivis dakwah sepi dari publisitas sehingga kiprah mereka tidak diketahui masyarakat luas.
Muncul pertanyaan, apakah publisitas bertentangan dengan makna keikhlasan? Apakah amal yang ikhlas harus selalu disembunyikan? Al Qur’an memberikan gambaran dua kondisi shadaqah (sedekah), yang keduanya bernilai baik dan lebih baik. Tidak ada yang dicela atau disalahkan. Perhatikan ungkapan ayat berikut:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Baqarah : 271).
Dari ayat di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran fiqih dakwah sebagai berikut:
Al Qur’an juga menyebut umat Nabi Saw sebagai sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh manusia:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran: 110).
Kebaikan ini akan memiliki makna yang memberikan banyak dorongan motivasi dan inspirasi bagi masyarakat luas, jika ditampakkan, bukan disembunyikan.
Riya’ adalah berkembangnya motivasi semata-mata ingin mendapat pujian dari manusia atas apa yang dilakukannya. Namun menyembunyikan amal tidak identik dengan ikhlas, karena ikhlas bukanlah soal teknis menampakkan atau menyembunyikan. Ikhlas adalah dorongan yang kuat dalam jiwa, yang menjadi sumber motivasi dalam melakukan sebuah amal atau dalam meninggalkan amal tersebut.
Sebagian ulama salaf menyatakan, “Beramal karena manusia itu syirik, sedangkan meninggalkan amal karena manusia itu riya”. Ini menandakan bahwa ikhlas itu bermakna dorongan yang menyebabkan melakukan atau meninggalkan suatu amal semata-mata karena Allah, apakah amal itu ditampakkan atau disembunyikan.
Syaikh Hasan Al Bana menegaskan, “Yang dimaksud dengan ikhlas ialah seorang muslim menunjukkan segala perkataan, amal dan jihadnya semata-mata mencari ridha Allah dan ganjaran baik-Nya, tidak memandang keuntungan duniawi, kedudukan, pangkat, gelar, dan semacamnya. Karena itu ia akan menjadi manusia pembela cita-cita dan aqidah, bukan kepentingan (interest) pribadi.”
Sebagaimana telah dinyatakan di depan, bahwa menyembunyikan amal itu tidak identik dengan ikhlas, maka menampakkan amal juga tidak identik dengan riya atau tidak ikhlas. Dengan demikian, jika publisitas adalah upaya untuk memberikan informasi yang positif, memberikan inspirasi kebaikan, memberikan motivasi beramal salih, dan memberikan pencitraan positif bagi dakwah, maka hal itu adalah sebuah keharusan.
Referensi: http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2718
Selain memberikan informasi, publisitas juga dimaksudkan sebagai upaya memberikan pendidikan, inspirasi, dan motivasi bagi semua kalangan untuk melakukan kebaikan dan berlomba-lomba memperbanyak kontribusi positif di tengah kehidupan masyarakat. Sangat banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari para aktivis dakwah, namun seringkali tenggelam tidak banyak diketahui publik, karena tidak adanya unsur publisitas. Sementara ada tokoh politik tertentu yang sekali-kalinya naik kereta api atau bus kota, diberitakan headline berhari-hari di berbagai media.
Saya sempat tertegun mendengar informasi tentang mahalnya pencitraan. Seorang tokoh politik, karena ingin mendapatkan pencitraan tentang kesederhanaan, maka ia rela mengeluarkan dana ratusan milyar rupiah guna tampil di televisi dan media massa lainnya. Betapa ironis, citra sederhana yang ingin didapatkan, dibangun dengan biaya ratusan milyar rupiah. Sudah pasti, konstituen tidak pernah mengetahui hal itu. Mereka hanya memuji-muji sang tokoh yang sederhana dan bersahaja, tanpa mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.
Banyak kalangan tokoh aktivis dakwah yang hidup dan kegiatannya jauh dari publisitas. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas berbuat dan bekerja karena Allah, bukan berharap pujian manusia. Mereka menjaga diri agar tidak rusak amal yang telah mereka lakukan, karena pengaruh perasaan riya yang berkembang dalam jiwa. Untuk itu mereka lebih suka menjauhkan diri dari publisitas, dan hidup dalam kesunyian walau kontribusi mereka untuk perbaikan masyarakat sangat besar.
Namun di sisi lain, karena tidak terpublikasikan oleh media, maka kesederhanaan, kebersahajaan, dan kesungguhan mereka dalam memperbaiki masyarakat tidak diketahui banyak kalangan. Ketika muncul beberapa tokoh politik yang menjadi ikon kesederhanaan, banyak masyarakat bertanya, mengapa itu tidak muncul dari kalangan aktivis dakwah? Salah satu jawabannya adalah karena faktor publisitas. Para aktivis dakwah sepi dari publisitas sehingga kiprah mereka tidak diketahui masyarakat luas.
Muncul pertanyaan, apakah publisitas bertentangan dengan makna keikhlasan? Apakah amal yang ikhlas harus selalu disembunyikan? Al Qur’an memberikan gambaran dua kondisi shadaqah (sedekah), yang keduanya bernilai baik dan lebih baik. Tidak ada yang dicela atau disalahkan. Perhatikan ungkapan ayat berikut:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Baqarah : 271).
Dari ayat di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran fiqih dakwah sebagai berikut:
- 1. Dibolehkannya menampakkan amal
Al Qur’an juga menyebut umat Nabi Saw sebagai sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh manusia:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran: 110).
Kebaikan ini akan memiliki makna yang memberikan banyak dorongan motivasi dan inspirasi bagi masyarakat luas, jika ditampakkan, bukan disembunyikan.
- 2. Menyembunyikan amal karena menghindari riya’
Riya’ adalah berkembangnya motivasi semata-mata ingin mendapat pujian dari manusia atas apa yang dilakukannya. Namun menyembunyikan amal tidak identik dengan ikhlas, karena ikhlas bukanlah soal teknis menampakkan atau menyembunyikan. Ikhlas adalah dorongan yang kuat dalam jiwa, yang menjadi sumber motivasi dalam melakukan sebuah amal atau dalam meninggalkan amal tersebut.
Sebagian ulama salaf menyatakan, “Beramal karena manusia itu syirik, sedangkan meninggalkan amal karena manusia itu riya”. Ini menandakan bahwa ikhlas itu bermakna dorongan yang menyebabkan melakukan atau meninggalkan suatu amal semata-mata karena Allah, apakah amal itu ditampakkan atau disembunyikan.
- 3. Keharusan bekerja dengan ikhlas
Syaikh Hasan Al Bana menegaskan, “Yang dimaksud dengan ikhlas ialah seorang muslim menunjukkan segala perkataan, amal dan jihadnya semata-mata mencari ridha Allah dan ganjaran baik-Nya, tidak memandang keuntungan duniawi, kedudukan, pangkat, gelar, dan semacamnya. Karena itu ia akan menjadi manusia pembela cita-cita dan aqidah, bukan kepentingan (interest) pribadi.”
- 4. Menampakkan amal tidak menghilangkan keikhlasan
Sebagaimana telah dinyatakan di depan, bahwa menyembunyikan amal itu tidak identik dengan ikhlas, maka menampakkan amal juga tidak identik dengan riya atau tidak ikhlas. Dengan demikian, jika publisitas adalah upaya untuk memberikan informasi yang positif, memberikan inspirasi kebaikan, memberikan motivasi beramal salih, dan memberikan pencitraan positif bagi dakwah, maka hal itu adalah sebuah keharusan.
Referensi: http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2718
0 komentar:
Posting Komentar