Setiap menjelang Hari Raya Idhul Adha, saya selalu teringat pada
cerita nyata yang disampaikan adik ipar saya pada 4 tahun yang
lalu.Ketika itu adik ipar saya ditunjuk menjadi salah satu panitia
Qurban di kantornya (sebuah perusahaan IT) di Jakarta. Singkat cerita,
selepas pulang kerja adik ipar saya bersama rekannya pergi untuk membeli
hewan Qurban di salah satu penjual hewan Qurban untuk memenuhi amanah
dari para karyawan di kantornya yang menitipkan uang kepada panitia
untuk dibelikan hewan Qurban.
Sesampainya di tempat penjual hewan Qurban tersebut, tampak sekali si
penjual hewan Qurban sangat sibuk melayani para pembeli. Para pembeli
pun sibuk memilih hewan-hewan Qurban yang terbaik untuk memenuhi seruan
ber-Qurban di hari raya nanti. Adik ipar saya pun terpaksa harus
menunggu cukup lama sambil melihat- lihat hewan-hewan Qurban yang ada di
lokasi.
Diantara para pembeli yang sedang antri, tampak seorang ibu tua yang
memanggul bakul bambu berisi perabot rumah tangga tradisional seperti
sikat ijuk, sapu lidi, kemoceng dan sebagainya. Dengan sabar ibu tua
tersebut berdiri melihat-lihat para pembeli yang sibuk memilih hewan
Qurban dan menawar harga.
Setelah sekian lama para pembeli pun mulai sepi, tapi ibu tua masih
sabar berdiri seakan menikmati pemandangan kesibukan penjual hewan
Qurban dengan para pembelinya, dan menunggu sampai pembeli terakhir.
Sampailah waktunya si penjual melayani adik ipar saya, dan setelah
memilih hewan-hewan Qurban dan menentukan harga, maka si penjual hewan
Qurban menyiapkan kwitansi pembelian untuk adik ipar saya.
Sambil menunggu si penjual menyiapkan kwitansi, adik ipar saya
iseng-iseng menanyakan apa keperluan si ibu tua sehingga rela
berlama-lama menunggu di sana. Dalam hati, adik ipar saya menduga-duga
bahwa mungkin si ibu tua itu ingin meminta shodaqoh dari penjual hewan
Qurban yang sedang laris manis itu.
Dan alangkah terkejutnya, ketika adik ipar saya mendengar jawaban
dari si ibu tua bahwa ia juga ingin membeli hewan Qurban untuk dirinya
sendiri. “Alhamdulillah nak, saya sudah beberapa tahun terakhir ini bisa
rutin membeli kambing Qurban”, begitu ibu tua itu menambahkan,
Didorong rasa ingin tahu, adik ipar saya bertanya bagaimana caranya
si ibu tua tersebut bisa mampu membeli kambing Qurban, mengingat
pekerjaanya hanya penjual perabot rumah tangga tradisional.
Si ibu tua dengan lugasnya menjelaskan bahwa setiap hari ia
menyisihkan seribu perak dari keuntungannya berjualan perabot. “Kalau
lagi laku banyak, saya menyisihkan dua ribu perak. Jaga-jaga kalo saya
sakit, saya nggak bisa jualan dan nggak bisa nabung buat beli kambing
Qurban”.
“Kalau sehari seribu atau dua ribu, setahun bisa terkumpul uang Rp
350.000,- s/d Rp 400.000,- jadi cukuplah buat beli kambing Qurban yang
murah”, begitu si ibu tua menjelaskan.
Begitulah adik ipar saya menuntaskan ceritanya.
DEGH … saya cuma bisa terdiam mendengar cerita itu, bila si ibu tua
itu dengan telaten menyisihkan keuntungannya berjualan setiap harinya
demi keinginan besar untuk bisa ber-Qurban setiap tahunnya, itu berarti
tidak ada alasan bagi saya untuk tidak ber-Qurban setiap tahunnya. Saya
tidak perlu mengumpulkan uang bila ingin membeli kambing Qurban, dan
bila pun harus mengumpulkan uang untuk membeli kambing Qurban, saya
hanya perlu berapa kali saja menahan keinginan saya untuk makan
fast-food atau nonton di bioskop atau beli celana jeans baru atau beli
accessories kendaraan.
Bila si ibu tua itu harus menyisihkan seribu – dua ribu perak dari
hasil keringatnya memanggul bakul perabot keliling kampung yang setiap
hari paling-paling cuma untung 10 ribu – 20 ribu, maka apakah saya sudah
cukup berani dan lapang hati untuk menyisihkan 10% dari gaji setiap
bulan untuk meraih cinta Allah.
Jujur saya belum segagah ibu tua itu ..
Referensi: http://www.kutungguqurbanmu.com
0 komentar:
Posting Komentar