Habis Shubuh, kyai Qosim sudah siap mengajar. Santri-santri seniornya
sudah hadir semua. Cahaya, Lakimen, Darisyah, Bhekti, Bohaim, Santos,
dan Adung. Kitab dibuka dan dibacakan kyai Qosim. Semua santrinya
menyimak khusyu kecuali Adung.
Adung tertunduk saja sejak awal mula pengajian dimulai. Kitabnya juga tidak dibuka. Rupanya Adung molor. Jailnya, tak ada satupun kawan-kawan santrinya itu mengingatkan Adung atau membangunkannya.
“Biarin aja, biar kena sentil kyai Qosim,” bisik Lakimen.
“Setuju,” balas Cahaya berbisik.
“Wokeh,” balas Bhekti sambil ngacungin jempol kaki.
“Siip lah,” gumam Bohaim.
“Biar tau rasa dia,” balas Santos.
Singkat pengajian, kyai Qosim mulai menanyakan satu persatu materi yang baru saja diajarkan kepada santri-santri seniornya itu. Semua menjawab dengan cepat, tepat dan akurat.
“Jadi, kenapa hewan qurban itu harus Kambing, Sapi atau Unta, Cahaya?”
“Dalil dan nas menyebut harus dengan hewan itu, Kyai. Karena itu sifatnya ta’abbudi, kita ikut apa yang dicontohkan Rasulullah saja.”
Kyai Qosim mengangguk puas atas jawaban Cahaya.
“Bagaimana jika ada orang misalnya, ngotot berqurban dengan sekandang ayam saja, karena kebetulan peternak ayam, Lakimen?”
“Tetap tidak bisa, Kyai. Karena ibadah itu harus berdasarkan dalil, bukan selera. Ayam tidak termasuk ketegori hewan sembelihan untuk qurban. Kalo dia mau, jual saja sekandang ayamnya itu, lalu harganya digunakan untuk membeli kambing, domba, sapi atau unta, lalu diqurbankan.”
Kyai Qosim mengangguk puas juga dengan jawaban Lakimen.
“Bhekti, berapa batasan usia sapi boleh diqurbankan?”
“Minimal 2 tahun dan sudah masuk tahun ke-3, Kyai.”
Kyai Qosim mengangguk lagi.
“Santos, bagaimana kalo kambing?”
“Kambing jenis Domba atau Biri-biri diperbolehkan umur minimal 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan yang umur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa bukan jenis Domba atau Biri-biri, misalkan Kambing Jawa, maka minimal umur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2. Begitu, Kyai.”
Kyai Qosim manggut-manggut lagi.
“Darisyah, bagaimana syarat kondisi fisik hewan Qurban itu?”
“Badannya sehat, Kyai. Tidak pincang, tidak buta. Pokoknya sehat dah.”
Kyai Qosim mengangguk lagi.
“Apalagi selain itu, Bohaim?”
“Badannya tidak kurus kering, Kyai. Atau penyakitan.”
Giliran Adung ditanya, dia gelagapan. Adung tidak siap menjawab pertanyaan kyai Qosim karena keasikan tidur. Temen-temennya mesem-mesem.
“Dung, hewan qurban itu tidak memenuhi sarat dan tidak sah untuk qurban kalo matanya buta. Selain buta, apa lagi Dung?”
Adung melongo dan tidak bisa menjawab pertanyaan kyai Qosim. Bahkan, ngaji apa pagi itu, Adung tidak tahu. Adung melongo saja.
“Selain buta, apalagi Dung?” tanya kyai Qosim lebih tegas.
Adung masih diam dan melongo.
“Selain buta, apalagi Dung!” tanya kyai Qosim dengan suara tinggi dan sedikit marah.
“Anu kyai, bisu dan tuli!”
Bwuahahahahahaah....
Referensi: Zilzaal.blogspot.com
Adung tertunduk saja sejak awal mula pengajian dimulai. Kitabnya juga tidak dibuka. Rupanya Adung molor. Jailnya, tak ada satupun kawan-kawan santrinya itu mengingatkan Adung atau membangunkannya.
“Biarin aja, biar kena sentil kyai Qosim,” bisik Lakimen.
“Setuju,” balas Cahaya berbisik.
“Wokeh,” balas Bhekti sambil ngacungin jempol kaki.
“Siip lah,” gumam Bohaim.
“Biar tau rasa dia,” balas Santos.
Singkat pengajian, kyai Qosim mulai menanyakan satu persatu materi yang baru saja diajarkan kepada santri-santri seniornya itu. Semua menjawab dengan cepat, tepat dan akurat.
“Jadi, kenapa hewan qurban itu harus Kambing, Sapi atau Unta, Cahaya?”
“Dalil dan nas menyebut harus dengan hewan itu, Kyai. Karena itu sifatnya ta’abbudi, kita ikut apa yang dicontohkan Rasulullah saja.”
Kyai Qosim mengangguk puas atas jawaban Cahaya.
“Bagaimana jika ada orang misalnya, ngotot berqurban dengan sekandang ayam saja, karena kebetulan peternak ayam, Lakimen?”
“Tetap tidak bisa, Kyai. Karena ibadah itu harus berdasarkan dalil, bukan selera. Ayam tidak termasuk ketegori hewan sembelihan untuk qurban. Kalo dia mau, jual saja sekandang ayamnya itu, lalu harganya digunakan untuk membeli kambing, domba, sapi atau unta, lalu diqurbankan.”
Kyai Qosim mengangguk puas juga dengan jawaban Lakimen.
“Bhekti, berapa batasan usia sapi boleh diqurbankan?”
“Minimal 2 tahun dan sudah masuk tahun ke-3, Kyai.”
Kyai Qosim mengangguk lagi.
“Santos, bagaimana kalo kambing?”
“Kambing jenis Domba atau Biri-biri diperbolehkan umur minimal 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan yang umur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa bukan jenis Domba atau Biri-biri, misalkan Kambing Jawa, maka minimal umur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2. Begitu, Kyai.”
Kyai Qosim manggut-manggut lagi.
“Darisyah, bagaimana syarat kondisi fisik hewan Qurban itu?”
“Badannya sehat, Kyai. Tidak pincang, tidak buta. Pokoknya sehat dah.”
Kyai Qosim mengangguk lagi.
“Apalagi selain itu, Bohaim?”
“Badannya tidak kurus kering, Kyai. Atau penyakitan.”
Giliran Adung ditanya, dia gelagapan. Adung tidak siap menjawab pertanyaan kyai Qosim karena keasikan tidur. Temen-temennya mesem-mesem.
“Dung, hewan qurban itu tidak memenuhi sarat dan tidak sah untuk qurban kalo matanya buta. Selain buta, apa lagi Dung?”
Adung melongo dan tidak bisa menjawab pertanyaan kyai Qosim. Bahkan, ngaji apa pagi itu, Adung tidak tahu. Adung melongo saja.
“Selain buta, apalagi Dung?” tanya kyai Qosim lebih tegas.
Adung masih diam dan melongo.
“Selain buta, apalagi Dung!” tanya kyai Qosim dengan suara tinggi dan sedikit marah.
“Anu kyai, bisu dan tuli!”
Bwuahahahahahaah....
Referensi: Zilzaal.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar