Sabtu, 06 Juli 2013

Mengembalikan Proses Tazkiyah Dalam Sistematika Tarbiyah

Leave a Comment

“Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS. Al-Baqarah. 129)

Sejenak mungkin kita akan berpikir, mengapa sosok Nabi Ibrahim kemudian memunajatkan doa yang termaktub di atas. Al-Qur’an merekam dengan akurat doa Nabi Ibrahim, dimana saat itu Ia dan Ismail tengah membangun kiblat ibadah umat Islam; Ka’bah. Dari petikan ayat di atas kita dapat melihat ada sebuah kegelisahan mendalam yang terdampar jauh dalam palung hati seorang Ibrahim, ada sebuah harapan di kemudian hari ketika mereka tak bernyawa lagi. Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita, apa kegelisahan dan harapan itu?

Secara gamblang setidaknya Ibrahim memohon 3 hal besar kepada Allah SWT pada saat itu, yakni: 1) Ibrahim memohon agar kelak Allah SWT melahirkan seorang Rasul bagi anak cucunya yang akan menjadi penyampai wahyu Allah SWT; 2) kemudian Rasul tersebut mengajarkan makna dan hikmah wahyu tersebut; dan 3) terwujudnya proses menyucikan (tazkiyah) hati seorang insan.

Jika kita merujuk pada sejarah, kejahiliyahan bangsa Arab pada saat sebelum di utusnya Rasulullah SAW disebabkan hilangnya proses tarbiyah atau pendidikan yang begitu lama. Adanya rentang waktu ribuan tahun atara Ismail dan Muhammad, sehingga umat saat itu tak mampu membimbing diri menuju kemuliaan hati. Maka dari itu, wajar ketika Ibrahim memanjatkan doa di atas, karena Ia telah mampu melakukan prediksi akurat tentang kondisi umat akhir zaman.

Dari kondisi di atas kita dapat menyusun sebuah hipotesa bahwa tarbiyah adalah sebuah proses mutlak jika sebuah bangsa ingin membangun peradaban yang berlandaskan moralitas dan keanggunan pribadi. Karena pada hakikatnya peradaban yang dibangun hanya berasaskan logika hanya akan tampak kuat di luar, tetapi sesungguhnya begitu keropos internalnya, ini bisa kita lihat dari role model peradaban Persia dan Romawi yang landasannya adalah imperialisme-tirani.

Beranjak dari tarbiyah, maka kita wajib melewati proses-prosesnya agar mampu menghasilkan output yang mendekati ideal. Doa Nabi Ibrahim di atas telah mendeskripsikan poin-poin proses yang mesti dijalani. Jika kita ‘peras’ poin-poin tersebut maka 3 proses yang ada yaitu: 1) Tilawah (membaca); 2) Ta’lim (mengajarkan); dan 3) Tazkiyah (menyucikan). Tetapi proses yang ditawarkan Ibrahim sebagai nabi dan rasul tidak serta-merta Allah SWT terima secara mutlak, dan Ibrahim pun tahu diri dengan posisinya sebagai hamba yang hanya bisa memohon, maka ending dari ayat tersebut yakni kalimat “Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Sehingga, doa Ibrahim tersebut Allah SWT ijabah pada masa Muhammad menyebarkan Islam, dan Al-Qur’an merangkumnya dengan apik pada ayat berikut:

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.
(QS. Al-Baqarah. 151)

Ayat penyempurna di atas mengandung makna bahwa proses yang ditawarkan Ibrahim melalui mekanisme doanya merupakan proses yang telah mendekati ideal, tetapi kemudian Allah SWT menyempurnakannya dengan mengubah sistematikanya menjadi: Tilawah, Tazkiyah, dan Ta’lim. Sehingga proses tazkiyah lebih didahulukan dibanding ta’lim.

Firman penyempurna di atas menjawab pertanyaan mengapa kemudian, ketika seorang mempelajari ilmu Islam yang berkaitan dengan amal dan ibadah selalu diawali dengan pemahaman mengenai tazkiyah. Bila kita membaca kitab-kitab fiqh, selalu diawali atau ditekankan mengenai thaharah (bersuci) yang merepresentasikan penyucian diri secara fisik, begitu pula jika kita mempelajari ilmu hadist, bab pertama yang akan kita temui dapat dipastikan hadist tentang niat yang substansinya mengenai penyucian diri secara hati. Mengapa hal ini kemudian menjadi fundamental?

Setidaknya Allah ingin menyampaikan ibrah bahwa setiap ibadah yang bersifat ritual dalam Islam tidak akan diterima menjadi sebuah pahala tanpa disertai raga yang suci. Sebuah amalan kebajikan tak kan membuahkan kemaslahatan akhirat tanpa adanya kesucian niat atau keikhlasan. Maka dari itu, menjadi sesuatu yang wajar bila tazkiyah mesti dilakukan lebih dulu sebelum seseorang menerima pelajaran tentang pedoman hidup, karena disadari atau tidak, tanpa kemurnian hati yang hakiki nasehat-nasehat yang diberi hanya akan membeku dalam hati. Tanpa kesucian jiwa, tausyiah-tausyiah seolah angin lalu belaka. Bahkan terkadang, sebuah tangisan hanya menjadi topeng sendu tanpa ruh penyesalan.

Tarbiyah, sebagai sebuah paket penting dalam merekonstruksi umat harus melewati tahapan ini tanpa meninggalkan satu fase pun. Karena telah banyak fenomena menampakkan, seorang yang di tarbiyah dengan membaca serta langsung diajarkan mengenai pedoman hidup tanpa diawali dengan tazkiyah, maka ia akan menyadingkan amar ma’ruf dengan kemungkaran.

Akhirnya, refleksi perang Uhud pun juga menjadi sebuah pelajaran penting bagi para da’i. Bila dalam hati Rasulullah tidak dilakukan penyucian oleh Allah SWT melalui perantara Jibril, boleh jadi Rasulullah tidak akan pernah menerima keislaman Khalid bin Walid yang pada perang Uhud telah menjadi garda terdepan memberangus pasukan muslim beserta 70-an hafidz Al-Qur’annya.

Hayrunizar
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Komisariat Al-Quds Universitas Sriwijaya

Sumber : http://www.islamedia.web.id/2013/06/mengembalikan-proses-tazkiyah-dalam.html

0 komentar:

Posting Komentar