Refleksi Pertama: Manusia Hidup dengan Keyakinannya
Pada dasarnya yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya adalah keyakinannya kepada AllahTa’ala. Semakin tinggi keyakinan seseorang kepada Sang Pencipta alam semesta dan Penguasa di Hari Pembalasan, maka dia akan semakin mantap menjalani kehidupan di dunia yang penuh dengan lika-liku dan misteri.
Karena dia yakin, segala sesuatunya sudah AllahTa’ala atur dengan pertimbangan yang matang dan sistematis. Baik itu menyangkut urusan rezeki, jodoh hingga kapan ajal menjemputnya. Sebelum Allah Ta’ala menjadikan sebagai ketetapan atau ketentuan di dunia, sesungguhnya semua itu sudah tercatat di Lauhul Mahfudz dengan tujuan:
- Agar manusia yang beriman kepada-Nya, tidak bersedih hati apalagi meratapi setiap musibah yang menimpanya.
- Tidak euforia dalam merayakan kesenangan saat mendapatkan karunia dari Allah Ta’ala berupa kenikmatan hidup. Adapun manusia diperintahkan Allah Ta’ala untuk berikhtiar.
Oleh karenanya, yang perlu dilakukan seorang penanti dan penjemput jodoh adalah dengan memaksimalkan ikhtiar yang telah Allah Ta’ala perintahkan agar bisa segera melangsungkan pernikahan jika memang sudah mampu untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Apalagi ajaran Islam tidak pernah memberatkan kepada penganutnya dalam membayar mahar kepada calon pendamping hidupnya. Para ulama bahkan mendukung siapa saja yang ingin menyegerakan pernikahan untuk menjaga diri dari perbuatan tercela dan sebaik-baik mahar menurut para ilmuan Islam adalah yang tidak memberatkan.
“Sebaik-baik wanita ialah yang paling ringan mas kawinnya”. (Hr. ath-Thabrani)
Anjuran Menyegerakan Pernikahan
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج, فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu (menanggung nafkah dan sudah dewasa), hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi benteng syahwat baginya.”[1]
Pertanyaannya sekarang, kenapa kita sering memikirkan hal-hal yang berat untuk dipikirkan?
- Memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan?
- Terhalang modal untuk menikah?
- Terhalang adat yang membelenggu diri?
- Terhalang untuk merayakan resepsi dengan biaya yang besar?
- Terhalang dengan tuntutan memberatkan dari pihak perempuan atau orangtua perempuan atau bisa juga dari pihak laki-laki?
- Atau terhalang dengan permasalahan keluarga seperti memiliki kakak yang belum menikah sehingga ada istilah “pamali” jika dilangkahi?
Sedangkan jiwa dan raga terus bergejolak, mata tak kuasa menahan pandangan, syahwat terus disembah dan diikuti, keinginan menikah kian tak terbendung. Akan tetapi kita terus membenani diri dengan banyak hal, apalagi sebenarnya menikah itu mudah jika kita mau memahami dengan baik dan benar akan tujuan dari melangsungkan pernikahan.
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا *
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.”(Qs. Maryam: 59-60)
Hal-hal yang membenani pikiran seringkali membuat seseorang melangkah dengan berat untuk maju ke pelaminan. Alih-alih maju ke pelaminan, datang ke rumah si perempuan untuk menemui orangtuanya saja menjadi terasa berat karena banyaknya pertimbangan dan beban pikiran yang menumpuk.
Adapun bagi anda yang sedang menanti dan menjemput jodoh ada baiknya menjadi pribadi yang mantap sebagai sebuah pilihan hidup. Berani mengambil reksiko dan tidak takut akan tantangan kehidupan, bebaskanlah pikiran anda dari hal-hal membelenggu jiwa dan beban-beban yang memberatkan pundak untuk melangkah menyegerakan lamaran, kemudian menikah. Bukankah yang anda inginkan adalah mencari kebahagiaan dengan menikah? JIka memang itu alasan anda, maka segerakanlah.
Refleksi Kedua: Manusia Hidup dengan Idealismenya
Fakta di lapangan menunjukan bahwa masih banyak manusia yang hidup dengan idealismenya. Dia tidak akan melangsungkan pernikahan sebelum mencapai kesempurnaan hidup yaitu kemapanan. Ketika ditanyakan kepadanya kapan anda akan menikah, lalu dia menjawab nanti kalau saya sudah mapan. Begitulah jawaban dari mereka yang bersikeras dengan idealismenya.
Alhasil, hidupnya dihabiskan untuk mengejar hasrat dan ambisinya guna mencapai kemapanan. Yang ada di benaknya adalah harus segera memiliki pekerjaan dengan penghasilan besar, rumah pribadi, kendaraan pribadi dan lain sebagainya. Semua itu memang tidak salah dan realistis. Akan tetapi, tanpa disadari olehnya bahwa untuk mendapatkan semua itu tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan butuh waktu yang tidak sebentar. Apalagi godaan di zaman sekarang begitu hebat ditambah teknologi yang semakin maju dan tiada batasan.
Pada umumnya, seseorang yang bisa mencapai ambisinya sudah tidak lagi dalam usia yang relatif muda. Padahal kalau mau kita renungkan,
- Kita hidup tidak untuk diri sendiri!
- Ada istri yang membutuhkan keromantisan nantinya!
- Dan ada anak-anak yang sangat butuh perhatian di saat mereka tumbuh dewasa, butuh canda tawa dan keharmonisan dari seorang panutan keluarga!
Adapun mereka yang menikah di usia tua, secara otomatis jarak antara buah cinta (baca: anak) dengannya menjadi terlampau jauh. Belum lagi jika kita bicara tentang takdir, kita tidak tahu kapan pastinya akan diwafatkan oleh Allah Ta’ala.
Bisa saja, mereka yang hidup dengan idealisme mendapatkan segala hasratnya. Tapi di sisi lain, mereka juga tidak tahu kapan ajal menjemputnya. Di saat baru saja menikah ternyata ajal menjemput dirinya, misalnya. Itu artinya, sebelum dia mempunyai keturunan, Allah Ta’ala sudah menakdirkan lain di luar perhitungannya.
Ini artinya, segala usaha yang dia bangun untuk keluarga barunya menjadi sirna karena dia belum mendapatkan keturunan dan merasakan kebahagian bersama pasangannya. Padahal yang dicari adalah membangun kebahagian bersama anak dan istrinya kelak sebagaimana yang dia perkirakan saat masih hidup.
Belum lagi jika Allah Ta’ala menakdirkannya tidak memiliki keturunan dengan kuasaNya. Bisa jadi dari segi kemapanan dia telah mendapatkannya berupa materi melimpah, apa saja keinginannya bisa terkabul, jabatan tinggi dan memiliki status sosial atau terpandang di masyarakat. Akan tetapi dia tidak bisa mendapatkan keturunan karena alasan medis dan lain sebagainnya.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاء يَهَبُ لِمَنْ يَشَاء إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاء الذُّكُورَ * أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَن يَشَاء عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ*
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (asy- Syuura: 49-50)
Itulah perkiraan manusia yang bisa saja salah. Adapun Kehendak Allah Ta’ala, sedikitpun tak mungkin meleset. Lalu kenapa kita tidak menyerahkan segala urusan hidup ini dengan perkiraan Tuhan (baca: percaya dengan takdir) dengan menyegerakan menikah tanpa harus berlama-lama hidup dengan idealismenya?
Karena sejatinya, Allah Ta’ala yang memberikan rezeki kepada seluruh makhluk yang ada di langit dan bumi termasuk anak dan istri kita. Jadi, tidak perlu kawatir.
- Kita tidak perlu kawatir akan nasib keturunan.
- Selama manusia berusaha dengan bekerja keras
- Bukan menjadi pribadi-pribadi yang malas dan lebih sering duduk termenung serta berdiam diri memikirkan nasib.
- Bukankah Allah Ta’ala tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka berusaha dengan sungguh-sungguh dan merubahnya sendiri?
Sekali lagi, kita tidak perlu kawatir. Karena Allah Ta’ala sudah menjamin rezeki seluruh penduduk langit dan bumi. Kita hanya disyariatkan untuk berusaha dengan maksimal. Adapun hasilnya, mari kita serahkan kepada-Nya.
Fakta Menarik Seputar Fenomena Menikah
Fakta lain menunjukan bahwa keadaanlah yang menjadikan para pemuda sulit untuk menikah. Seperti yang terjadi di negara-negara Arab seperti Mesir, Maroko, Arab Saudi dan Negara-negara Teluk.
Karena tradisi yang berkembang begitu memberatkan para lajang yang ingin menikah muda. Bayangkan saja, bagaimana tidak sulit, pola pikir mereka sudah terbentuk dan dibebani dengan banyak hal berupa kemapanan dan status sosial. Makanya tak heran, banyak dari mereka yang menikah di saat usianya sudah memasuki kepala empat. Bahkan masih banyak yang sudah tua tapi belum juga menikah lantaran terbebani dengan tradisi yang membelenggu.
Lain halnya dengan keluarga yang ta’at dan patuh pada agama serta lebih menjaga diri, mereka cenderung tidak memberatkan dengan banyak persaratan untuk bisa menikah. Bahkan jika ada seorang pemuda yang ta’at pada Allah Ta’ala dan hafal al-Qur’an biasanya banyak dijodohkan atau diperebutkan untuk menjadi menantu walaupun dia tidak berlimpah materi. Para orangtua yang faham dan memiliki perhatian kepada agama akan berebut untuk menikahkan anak gadisnya dengan pemuda berilmu dan cinta kepada al-Qur’an itu.
Kasih Allah Ta’ala dan Azab Pedih-Nya
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat ar-Rahman (Maha Pemurah). Dalam surat al-Israa’ ditambahkan bahwa kita juga bisa menyebut nama Allah Ta’ala dengan nama ar-Rahman.
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ….
“Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik)” (Qs al-Israa’: 110)
Ar-Rahman sendiri dalam memiliki arti yang begitu dalam, karena saking banyak dan terkumpulnya sifat Rahim (Maha penyayang) maka disebut dengan ar-Rahman. Manusia bisa saja menjadi Rahim tetapi tidak bisa memiliki sifat Rahman. Karena hanya Allah Ta’ala yang begitu luas kasih dan sayangnya kepada seluruh makhluk di alam semesta.
Artinya, jika Allah Ta’ala mewafatkan seseorang ketika baru saja melangsungkan pernikahan, atau ada orang yang ditakdirkan tidak mempunyai keturunan, semuanya karena kuasa dari-Nya. Di sisi lain, ada juga orang yang begitu mudahnya mendapatkan segala nikmat duniawi. Seperti materi melimpah, keturunan yang banyak, pangkat-jabatan, golongan tinggi dan mendapat status sosial di masyarakat, semuanya tiada lain karena sifat ar-Rahman dari Allah Ta’ala.
Orang yang beriman dan tidak beriman sekalipun diberikan karunia kepadanya, kasih Allah Ta’ala tak pandang bulu. Kasih-Nya tiada pilih kasih dan tiada terbilang.
Siapa saja, pada dasarnya bisa mendapatkan apa yang dihasratkannya ketika di dunia. Hanya saja yang membedakan adalah orientasinya. Seseorang yang menjadikan dunia sebagai ladang amal untuk kehidupannya di akherat kelak, tentu akan diganjar berupa surga-Nya yang kekal. Tapi tidak bagi mereka para penyembah dunia yang lupa akan karunia Tuhan.
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(Qs. Ali Imran: 145)
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ * أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Huud: 15-16)
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا * وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (Qs. Al-Israa’: 18-19)
Oleh karenanya, hal yang perlu dipersiapkan oleh para penanti dan penjemput jodoh adalah meluruskan niat menikah yang semata-mata karena Allah. Jadikanlah orientasi akhirat melebihi segalanya dan jadikanlah karakter manusia pertama yang hidup dengan keyakinan sebagai modal anda melangkah lebih jauh menuju pernikahan yang penuh berkah.
Dengan demikian, kita tidak perlu kawatir akan kehidupan dunia. Karena Allah Ta’ala Yang akan menjamin kehidupan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dengan kehidupan yang lebih layak sesuai dengan petunjuk dari al-Qur’an,
من عمل صالحا من ذكر أو أنثى و هو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة…….
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (Qs. an-Nahl: 97)
[1]. HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud
Dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar